Warga Jogja, Sleman, Magelang dan Boyolali hari hari ini lagi dirundung duka dengan meletusnya gunung merapi. yang telah merenggut banyak korban jiwa dan telah merusakkan infrastruktur yang ada di 4 kabupaten tersebut. nyawa, kebun, ternak, rumah habis dilahab si wedus gembel. bahakan perekonomian di Jogja lumpuh akibat peristiwa tersebut dikarenakan Bandara di tutup hampir 3 pekan. sejumplah tempat wisata tutup dan sepi pengunjung bahkan banyak even besar seperti meeting dll harus ditunda di kota ini.
meletusnya gunung merapi harus kita sikapi dengan bijaksana. bahwa semua itu peringatan bagi kita semua. Kita harus bisa memandang segala peristiwa dengan pikiran yang positif bahwa di balik bencana banyak hikmah yg kita petik.
Di lain sisi saya akan menuliskan beberapa hal yang berkaitan dengan merapi kususnya filosofi antara Gunung merapi, tugu, keraton dan pantai selatan yang syarat makna. berdasarkan pembicaraan dengan teman teman di Jogja dan artikel dan buku yang saya baca ternyata banyak makna antara 4 komponen tersebut di mata masyarakat Jogja.
Berdasarkan referensi dari Vivanews bahwa
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya.
Pengamatan citra satelit memang memperlihatkan lokasi-lokasi tersebut, berikut jalan yang menghubungkannya, hampir terletak segaris dan hanya meleset beberapa derajat.
Keberadaan garis imajiner tersebut dibenarkan oleh mantan Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Profesor Damarjati Supadjar. "Garis imajiner itu sudah menjadi wacana lama," kata Damarjati kepada VIVAnews.com, Jumat 20 Oktober 2010.
Gunung Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, yang juga sebagai batas utara Yogyakarta. Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan, terdapat Tugu Yogya.
Tugu menjadi simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan).
Garis selanjutnya mengarah ke Keraton dan kemudian lurus ke selatan terdapat Panggung Krapyak. Gedhong Panggung, demikian bangunan itu kini disebut, merupakan podium batu bata setinggi 4 meter, lebar 5 meter, dan panjang 6 meter. Tebal dindingnya mencapai 1 meter. Bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Titik terakhir dari garis imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo, di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro Kidul-nya. Seperti Merapi, pada titik ini juga ada juru kuncinya, yaitu RP Suraksotarwono.
Bagi Damarjati, daerah-daerah yang dilintasi garis lurus imajiner itu hanya 'kebetulan' saja terlintasi garis. Tetapi yang sesungguhnya memiliki arti adalah titik di masing-masing ujung imajiner, Merapi dan Laut Selatan.
Dua lokasi itu memiliki arti yang sangat penting bagi Keraton yang dibangun berdasarkan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan. Keraton merupakan titik imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air dilambangkan pada titik paling selatan, Pantai Parang Kusumo. Dan keraton berada di titik tengahnya. "Keraton dan dua daerah itu merupakan titik keseimbangan antara vertikal dan horizontal," jelas Damarjati.
Keseimbangan horizontal dilambangkan oleh Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan Gunung Merapi melambangkan sisi horizontal yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Filosofi garis lurus imajiner dari Merapi hingga Laut Selatan ini sarat kearifan lokal. Damarjati menyarankan pemimpin di negeri ini harus peka terhadap peristiwa letusan Merapi yang menewaskan sang juru kunci. Menurut dia, magma dalam gunung Merapi itu tidak boleh tersumbat untuk memuntahkan laharnya. Karena kalau tersumbat, dan terlambat, maka akan mengakibatkan letusan yang luar biasa. "Seperti kalau suara rakyat tersumbat, maka akan terjadi revolusi sosial.”
Sebenarnya banyak tempat dan peristiwa yang sarat dengan makna tergantung dari mata mana kita memandangnya. percaya atau tidak itu tergantung pada diri kita...yang penting dengan alam yang telah tercipta tidak kita rusak sehingga ada keseimbangan ekosistem yang ada didalamnya.